Jumat, 27 April 2012

Tafsir Semiotik

Tafsir Semiotik;
Kajian Pemikiran Paul Ricoeur dan M. Arkoun[1]
Oleh: emkamujib idoeyasha


Prolog
Yasraf Amir Piliang mendefinisikan semiotika sebagai ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat.[2] Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai sebuah disiplin pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berdusta.[3]
Semiotika adalah salah satu buah pemikiran Ferdinand de Saussure, ahli bahasa kebangsaan Swiss yang terkenal dengan distingsinya terhadap dua gejala kebahasaan langue dan parole. Ia mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi serta relasi tanda (sign) dalam penggunaannya di dalam masyarakat[4], kelak ilmu ini akan dilanjutkan oleh Roland Barthes meski dalam perjalanannya ia akan memiliki pandangan yang berbeda dari de Saussure.
Semiotika masa awal adalah semiotika strukturalis yang setidaknya memiliki enam prinsip utama: struktural, kesatuan, sinkronik, konvensional, representasi dan kontinuitas. Prinsip pertama meniscayakan kajian ini berkutat pada struktur kebahasaan dengan keterkaitannya dengan penanda dan petanda (pada prinsip kedua) yang terjalin di dalam struktur tersebut. Dengan demikian semiotika pada masa awalnya bersifat sinkronik (prinsip ketiga).[5] Keberadaan penanda dan petanda ini bersifat konvensional (prinsip keempat), dalam arti keduanya ditentukan oleh kesepakatan bersama sebuah komunitas bahasa. Dalam semiotika struktural ini juga diyakini bahwa penanda adalah bentuk representasi petanda (prinsip kelima) yang bersifat berkesinambungan (baca: kontinu), yang merupakan prinsip keenam.[6] Semiotika strukturalis ini nantinya akan dikritik oleh banyak kalangan, khusunya kaum post-strukturalis. Paul Ricoeur dan Muhammad Arkoun memiliki kecenderungan yang sama dengan kaum post-strukturalis ini
Kondisi keilmuan ini menggeser beberapa tradisi keilmuan yang sebelumnya berkembang di suatu tempat. Di Perancis, misalnya, kajian strukturalisme ini, bersama kajian psikoanalisis Freud, telah merongrong dominasi kajian fenomenologi Husserl-Heidegger.[7] Kondisi ini diketahui dan dan dirasakan langsung oleh Paul Ricoeur, salah satu tokoh yang akan kita bahas. Sebagai seorang pakar fenomenologi, awalnya, Ricoeur tertarik untuk menguji psikoanalisis Freud hingga pada akhirnya ia menyelam lebih dalam di dalam kajian kebahasaan.
Sementara itu, Muhammad Arkoun - kendati tidak mengalami langsung sejarah lahir strukturalisme, melalui keterhubungannya dengan Roland Barthes – juga banyak mengenyam kajian ini. Arkoun hidup di wilayah Aljazair, yang dulu berada di bawah kekuasaan koloni Perancis, di mana terjadi pertemuan dua tradisi besar; Islam dan barat. Hal ini membuatnya kaya akan kebudayaan dan kebahasaan. Ia menguasai tiga bahasa sekaligus; Bahasa Kabilia (bahasa ibu), Bahasa Arab (Bahasa Nasional Aljazair) dan Bahasa Perancis. Bahasa Kabilia adalah bahasa yang ia pakai setiap harinya. Sedangakan Bahasa Perancis adalah kunci baginya untuk membuka gudang pengetahuann barat. Sementara Bahasa Arab adalah bhasa yang ia gunakan sebagai transformasi keilmuan, meskipun ia lebih sering menggunakan Bahasa Perancis dalam karya dan istilah-istilah yang dibuatnya sendiri.[8]
Kajian tentang simbol ini berlaku dalam sistem bahasa secara umum. Johan H. Mauleman melihat adanya potensi besar dalam bahasa-bahasa agama untuk dikaji dengan semiotika ini. Sebab masing-masing agama memiliki kitab suci yang banyak mengandung petunjuk yang dikemas dengan bahasa-bahasa simbolik. Bahkan Islam secara tegas menyebut bagian-bagian dari kitab sucinya sebagai āyat, yang berarti tanda (sign).[9]
Selanjutnya, kajian ini akan kita lanjutkan dengan pemikiran keduanya. Namun, di sini penulis tidak akan memisahkan secara ketat pembahasan tentang kedua tokoh ini, melainkan dengan penyajian pemikiran yang akan dilakukan secara acak. Namun keterangan tentang pemikiran Arkoun akan lebih mendominasi kajian ini.

Makna Teks
Secara sederhana Ricoeur menyebutkan bahwa teks adalah inkripsi dari sebuah peristiwa wacana (diskursus).[10] Namun di sini, kata Ricoeur, sebuah teks tidak selalu berawal dari sebuah kata-kata yang terucap, sebab ada juga sebagian penulis yang langsung menuangkan bahasa pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Bahasa lisan dan bahasa tulis adalah pilihan bentuk dari sebuah diskursus.
Ricoeur membedakan kedua bentuk ini dengan bahwa dalam bentuk pertama dimungkinkan terjadi dialog antara pembicara dan pendengar. Ada setting wacana yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sehingga keduanya bis saling mempenagruhi satu sama lain. Dan tidak demikian halnya dengan bahasa tulis. Bahasa tulis adalah bersifat otonam, dalam arti maknanya sudah terlepas dari maksud pengarang. Bahasa tulis juga tidak memiliki rujukan makna yang jelas dan nyata di dunia luar, seperti pada bahasa lisan. Ia hanya berkait dengan sistem tanda di dalamnya dan membentuk dunianya sendiri. Teks tertulis seolah telah mewakili maksud pengarang dan maksud tersebut bersifat tetap di sana. Dalam pembacaannya terhadap teks, ia menyatukan dua hal yang dipisahkan oleh hermeneut sebelumnya; pemahaman dan penjelasan. Kan tetapi kata penjelsan di sini tidaklah diambil dari tradisi ilmu alam, melainkan ilmu linguistik, sebab konsentrasi Ricouer pada teks mengandaikan cara penjelasan terhadap sistem-sistem bahasa di dalamnya.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, Arkoun mengatakan bahwa teks adalah bentuk pembakuan dari dari suatu tindak pengujaran (parole).[11] Dalam penjelasannya, arkoun menyatakan adanya peralihan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka menjadi dimensi pangajaran yang bersifat beku. Hal ini tampak jelas dalam proses penulisan al-Qur’an dalam bentuk Mushaf sebagai satu-satunya teks yang layak ditafsirkan, dan diperparah lagi oleh ulama paruh kedua dalam pemikiran Muslim yang meyakini bahwa teks tafsirlah yang boleh ditafsirkan sehingga terus terjadi pengulangan.
Arkoun menyayangkan hilangnya dimensi kenabian yang bersifat simbolik tersebut, di sini ia meyakini adanya petanda terakhir (transendental) dari teks al-Qur’an, petanda yang ditentang oleh Jacques Derrida dan Paul Ricoeur sendiri. Sementara para ulama itu tidak menyadarinya. Sejarah tafsir, kemudian, hanyalah sejarah pengulangan yang cenderung melakukan pembelaan terhadap teks mushaf, padahal, menurut Arkoun, al-Qur’an mampu berargumentasi dengan sendirinya.
Dengan demikian Arkoun mengusulkan adanya penelusuran makna dari tiap-tiap ayat, yang sebut sebagai napak tilas. Ia meyakini bahwa pembaca tidak mungkin mendapatkan makna simbolik yang hilang tersenbut secara utuh, tetapi setidaknya ia berusaha untuk mengembalikan teks al-Qur’an sebagai parole dan senantiasa berdialog dengan para pembacanya.
Di sini kita melihat kesamaan sekaligus perbedaan dari keduanya. Keduanya meyakini bahwa teks bukanlah naskah mati, melainkan sebuah diskursus yang terus berdialektika dengan para pembacanya. Namun, Ricoeur lebih mengandalkan peran pembaca dalam proses pembacaannya, sebab ia meyakini bahwa ada keterjarakan antara teks dengan dunia luar dan teks hanya berkait satu sama lain dengan sistem di dalamnya. Sedangkan Arkoun tetap berusaha mencari rujukan dari teks sebab ia meyakini adanya rujukan di luar teks, bahkan yang bersifat transendental sekalipun
. 
Tanda, Simbol dan Mitos
Ricouer menyebutkan bahwa simbol adalah seluruh ekspresi yang bermakna ganda dan makna utamanya tidak merujuk kepada dirinya sendiri, tetapi kepada makna kedua yang tidak pernah dibeberkan secara langsung.[12] Kajian tentang simbol ini termasuk dalam rangkaian pemikirannya dalam filsafat kehendak, yakni berkaitan dengan noda, dosa, kesalahan dan sebagainya. Hal ini tidak akan diperpanjang di sini.
Arkoun melihat adanya kesamaan dalam ketiga istilah ini; tanda, simbol dan mitos, yakni ketiganya memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu di luar dirinya. Namun ia juga melakukan pembedaan antara tanda, simbol dan mitos. Tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu lain di luar dirinya. Sedangkan simbol adalah sesuatu yang merujuk pada sesuatu yang lain dan sesuatu yang lain itupun merujuk pada rujukan yang baru lagi. Kata merah, misalnya, adalah tanda bagi sesuatu yang memiliki warna tersebut. Namun kata merah tersebut bisa menjadi simbol bila sesuatu yang merah itu (makna dari tanda) dijadikan tanda lagi untuk hal yang lain, sifat pemberani misalnya. Sedangkan simbol bisa menjadi mitos bila simbol tersebut berada dalam sebuah cerita atau kisah. [13]
Terkait dengan ini, telah dijelaskan dimuka bahwa simbol dan / atau mitos bersifat terbuka dan mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia karena itulah mitos sangat potensial untuk menaklukkan kesadaran manusia. Dalam hal ini, Ia membedakan mitos dari pemitosan. Mitos adalah sesuatu yang mendasari dan menggambarkan kesadaran kolektif sebuah kelompok dalam kehidupannya. Sedangkan pemitosan adalah pemanfaatan terhadap mitos oleh mereka yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.
Arkoun menggunakan istilah mitis ini sebagai sebuah pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an, hal serupa dilakukan oleh Ricouer dalam mengidentifikasi kejahatan. Arkoun memulai langkahnya dengan pendekatan linguistik terhadap makna-makna al-Qur’an (linguistik kritis). Di sini ia menemukan keterkaitan makna antara ayat-ayat al-Qur’an (hubungan kritis).[14] Namun ia tidak berhenti di sana sebab ia meyakini bahwa dalam membaca al-Qur’an bahwa teks al-Qur’an bukanlah sebuah tanda tentang sesuatu, melainkan sebuah simbol. Bila kita memahami kata Adam dalam al-Qur’an, tidak hanya merujuk pada manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Sebab kata tersebut telah menjadi simbol yang merujuk kepada manusia secara keseluruhan. Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Arkoun tidak memaksudkan semua usahanya sebagai sebuah corak tersendiri dalam memahami al-Qur’an, apalagi menyatakan bahwa tafsirannya adalah yang paling benar. Arkoun hanya ingin mengajak kita untuk kembali merenungi makna al-Qur’an dan memahaminya sesuai dengan kondisi ke-kini-an kita. Karena Arkoun sangat yakin bahwa saat ini umat Islam seakan kemabali pada masa awal Islam, membutuhkan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an, tidak seperti umat di masa pertengahan yang hanya mampu merepetisi yang sudah ada. Repetisi seperti itu dapat menghalangi makna al-Qur’an dari para pembacanya, sangat ironis untuk sebuah langkah tafsir.
Secara umum Arkoun bisa disebut sebagai tokoh reformis, dalam arti ia masih menerima tradisi lama sejauh bisa berdialektika dengan ke-kin-an. Pada perjalanan waktu setelahnya, kita akan bertemu dengan Abu Zaid yang juga seorang reformis, meskipun langkah tafsirnya sedikit berbeda.

DAFTAR BACAAN
  1. Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA; Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2003.
  2. Muhammed Arkoun, NALAR ISLAMI DAN NALAR MODERN: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, INIS, Jakarta 1994
  3. Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996
  4. Paul Ricoeur, Hermenutics and the Human Sciences; Essays on Language, action and Interpretation, terj. Oleh Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta 2006.
  5. F.W Dillistone, The Power of Symbols, terj. Oleh  A. Widyamartaya, Kanisius, Yogyakarta 2002
  6. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta 2006 (Cetakana keempat)
  7. Josep Bleicher, HERMENUTIKA KONTEMPORER: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta 2003
  8. Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, terj. Oleh Hidayatullah, Penerbit Pustaka, Bandung 1998
  9. Bagus Takwin, Psikologi Naratif: Membaca Manusia sebagai Kisah, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
  10. Bambang Triatmoko, Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeu, Driyarkara, n0. 2/th. XVI


[1] Artikel ini ditulis sebagai pengganti tugas Ujian Tengah Semester (UTS) genap 07 untuk dua mata kuliah; Hermeneutika dan Pemikiran Tafsir Kontemporer yang keduanya diampu oleh Dr. Sahiron Syamsuddin Ph. d
[2] Lihat Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA; Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2003. Hlm. 19.
[3] Ibid, Hlm.43
[4] Ibid, Hlm. 44
[5] Inilah gaya baru yang dibawa oleh Ferdinand de Saussure dalam kajian kebahasaan, yakni sebuah kajian yang memfokuskan diri pada struktur bahasa. Sementara kajian-kajian sebelumnya lebih bersifat diakronik, kajian lintas waktu dengan perubahan (evolusi) bahasa sebagai kajian utamanya
[6] Op Cit, Yasraf Amir Piliang, Hlm 44-46
[7] Paul Ricoeur, Hermenutics and the Human Sciences; Essays on Language, action and Interpretation, terj. Oleh Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta 2006. Hlm 5-6
[8] Untuk lebih jauh, lihat Muhammed Arkoun, NALAR ISLAMI DAN NALAR MODERN: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, INIS, Jakarta 1994. Lihat juga Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996.
[9] Lihat Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996. Hlm.35-37.
[10] Op Cit, Paul Ricoeur, Hlm. 196
[11] St. Sunardi, Membaca Quran Bersama Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996. Hlm.62
[12] Op it, Paul Ricoeur, Hlm. 45
[13] Op Cit, St. Sunardi, Hlm.81
[14] Di sini ia berbeda dengan kecenderungan pendekatan semiotik yang hanya memahami sesuatu secara parsial, kata per-kata. Sedangkan dalam hubungan kritis ini Arkoun berusaha memahami al-Qur’an dalam keterhubungan makna ayat-ayatnya yang membentuk sebuah simbol yang digambarkan oleh Surat dan keterkaitan surat-surat itu akan membentuk simbol yang digambarkan oleh keseluruhan al-Qur’an.  

0 komentar:

Posting Komentar