Tafsir Semiotik;
Kajian Pemikiran Paul Ricoeur dan M. Arkoun[1]
Oleh: emkamujib idoeyasha
Prolog
Yasraf Amir Piliang mendefinisikan semiotika sebagai ilmu tentang tanda
dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat.[2]
Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai sebuah disiplin pengetahuan yang
mempelajari segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berdusta.[3]
Semiotika adalah salah satu buah pemikiran Ferdinand de Saussure, ahli
bahasa kebangsaan Swiss yang terkenal dengan distingsinya terhadap dua gejala
kebahasaan langue dan parole. Ia mendefinisikan semiotika sebagai
ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi serta relasi tanda (sign)
dalam penggunaannya di dalam masyarakat[4], kelak
ilmu ini akan dilanjutkan oleh Roland Barthes meski dalam perjalanannya ia akan
memiliki pandangan yang berbeda dari de Saussure.
Semiotika masa awal adalah semiotika strukturalis yang setidaknya
memiliki enam prinsip utama: struktural, kesatuan, sinkronik, konvensional,
representasi dan kontinuitas. Prinsip pertama meniscayakan kajian ini berkutat
pada struktur kebahasaan dengan keterkaitannya dengan penanda dan petanda (pada
prinsip kedua) yang terjalin di dalam struktur tersebut. Dengan demikian
semiotika pada masa awalnya bersifat sinkronik (prinsip ketiga).[5]
Keberadaan penanda dan petanda ini bersifat konvensional (prinsip keempat),
dalam arti keduanya ditentukan oleh kesepakatan bersama sebuah komunitas
bahasa. Dalam semiotika struktural ini juga diyakini bahwa penanda adalah bentuk
representasi petanda (prinsip kelima) yang bersifat berkesinambungan (baca:
kontinu), yang merupakan prinsip keenam.[6] Semiotika
strukturalis ini nantinya akan dikritik oleh banyak kalangan, khusunya kaum
post-strukturalis. Paul Ricoeur dan Muhammad Arkoun memiliki kecenderungan yang
sama dengan kaum post-strukturalis ini
Kondisi keilmuan ini menggeser beberapa tradisi keilmuan yang sebelumnya
berkembang di suatu tempat. Di Perancis, misalnya, kajian strukturalisme ini,
bersama kajian psikoanalisis Freud, telah merongrong dominasi kajian
fenomenologi Husserl-Heidegger.[7] Kondisi
ini diketahui dan dan dirasakan langsung oleh Paul Ricoeur, salah satu tokoh
yang akan kita bahas. Sebagai seorang pakar fenomenologi, awalnya, Ricoeur
tertarik untuk menguji psikoanalisis Freud hingga pada akhirnya ia menyelam
lebih dalam di dalam kajian kebahasaan.
Sementara itu, Muhammad Arkoun - kendati tidak mengalami langsung sejarah
lahir strukturalisme, melalui keterhubungannya dengan Roland Barthes – juga
banyak mengenyam kajian ini. Arkoun hidup di wilayah Aljazair, yang dulu berada
di bawah kekuasaan koloni Perancis, di mana terjadi pertemuan dua tradisi
besar; Islam dan barat. Hal ini membuatnya kaya akan kebudayaan dan kebahasaan.
Ia menguasai tiga bahasa sekaligus; Bahasa Kabilia (bahasa ibu), Bahasa Arab
(Bahasa Nasional Aljazair) dan Bahasa Perancis. Bahasa Kabilia adalah bahasa
yang ia pakai setiap harinya. Sedangakan Bahasa Perancis adalah kunci baginya
untuk membuka gudang pengetahuann barat. Sementara Bahasa Arab adalah bhasa
yang ia gunakan sebagai transformasi keilmuan, meskipun ia lebih sering
menggunakan Bahasa Perancis dalam karya dan istilah-istilah yang dibuatnya
sendiri.[8]
Kajian tentang simbol ini berlaku dalam sistem bahasa secara umum. Johan
H. Mauleman melihat adanya potensi besar dalam bahasa-bahasa agama untuk dikaji
dengan semiotika ini. Sebab masing-masing agama memiliki kitab suci yang banyak
mengandung petunjuk yang dikemas dengan bahasa-bahasa simbolik. Bahkan Islam
secara tegas menyebut bagian-bagian dari kitab sucinya sebagai āyat,
yang berarti tanda (sign).[9]
Selanjutnya, kajian ini akan kita lanjutkan dengan pemikiran keduanya.
Namun, di sini penulis tidak akan memisahkan secara ketat pembahasan tentang
kedua tokoh ini, melainkan dengan penyajian pemikiran yang akan dilakukan
secara acak. Namun keterangan tentang pemikiran Arkoun akan lebih mendominasi
kajian ini.
Makna Teks
Secara sederhana Ricoeur menyebutkan bahwa teks adalah inkripsi dari
sebuah peristiwa wacana (diskursus).[10] Namun
di sini, kata Ricoeur, sebuah teks tidak selalu berawal dari sebuah kata-kata
yang terucap, sebab ada juga sebagian penulis yang langsung menuangkan bahasa
pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Bahasa lisan dan bahasa tulis adalah
pilihan bentuk dari sebuah diskursus.
Ricoeur membedakan kedua bentuk ini dengan bahwa dalam bentuk pertama
dimungkinkan terjadi dialog antara pembicara dan pendengar. Ada setting wacana
yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sehingga keduanya bis saling
mempenagruhi satu sama lain. Dan tidak demikian halnya dengan bahasa tulis.
Bahasa tulis adalah bersifat otonam, dalam arti maknanya sudah terlepas dari
maksud pengarang. Bahasa tulis juga tidak memiliki rujukan makna yang jelas dan
nyata di dunia luar, seperti pada bahasa lisan. Ia hanya berkait dengan sistem
tanda di dalamnya dan membentuk dunianya sendiri. Teks tertulis seolah telah
mewakili maksud pengarang dan maksud tersebut bersifat tetap di sana. Dalam
pembacaannya terhadap teks, ia menyatukan dua hal yang dipisahkan oleh
hermeneut sebelumnya; pemahaman dan penjelasan. Kan tetapi kata penjelsan di
sini tidaklah diambil dari tradisi ilmu alam, melainkan ilmu linguistik, sebab konsentrasi
Ricouer pada teks mengandaikan cara penjelasan terhadap sistem-sistem bahasa di
dalamnya.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, Arkoun mengatakan bahwa teks adalah bentuk
pembakuan dari dari suatu tindak pengujaran (parole).[11] Dalam
penjelasannya, arkoun menyatakan adanya peralihan dari kalam kenabian yang
bersifat terbuka menjadi dimensi pangajaran yang bersifat beku. Hal ini tampak
jelas dalam proses penulisan al-Qur’an dalam bentuk Mushaf sebagai satu-satunya
teks yang layak ditafsirkan, dan diperparah lagi oleh ulama paruh kedua dalam
pemikiran Muslim yang meyakini bahwa teks tafsirlah yang boleh ditafsirkan
sehingga terus terjadi pengulangan.
Arkoun menyayangkan hilangnya dimensi kenabian yang bersifat simbolik
tersebut, di sini ia meyakini adanya petanda terakhir (transendental) dari teks
al-Qur’an, petanda yang ditentang oleh Jacques Derrida dan Paul Ricoeur sendiri.
Sementara para ulama itu tidak menyadarinya. Sejarah tafsir, kemudian, hanyalah
sejarah pengulangan yang cenderung melakukan pembelaan terhadap teks mushaf,
padahal, menurut Arkoun, al-Qur’an mampu berargumentasi dengan sendirinya.
Dengan demikian Arkoun mengusulkan adanya penelusuran makna dari
tiap-tiap ayat, yang sebut sebagai napak tilas. Ia meyakini bahwa pembaca tidak
mungkin mendapatkan makna simbolik yang hilang tersenbut secara utuh, tetapi
setidaknya ia berusaha untuk mengembalikan teks al-Qur’an sebagai parole
dan senantiasa berdialog dengan para pembacanya.
Di sini kita melihat kesamaan sekaligus perbedaan dari keduanya. Keduanya
meyakini bahwa teks bukanlah naskah mati, melainkan sebuah diskursus yang terus
berdialektika dengan para pembacanya. Namun, Ricoeur lebih mengandalkan peran
pembaca dalam proses pembacaannya, sebab ia meyakini bahwa ada keterjarakan
antara teks dengan dunia luar dan teks hanya berkait satu sama lain dengan
sistem di dalamnya. Sedangkan Arkoun tetap berusaha mencari rujukan dari teks
sebab ia meyakini adanya rujukan di luar teks, bahkan yang bersifat
transendental sekalipun
.
Tanda, Simbol
dan Mitos
Ricouer menyebutkan bahwa simbol adalah seluruh ekspresi yang bermakna
ganda dan makna utamanya tidak merujuk kepada dirinya sendiri, tetapi kepada
makna kedua yang tidak pernah dibeberkan secara langsung.[12] Kajian
tentang simbol ini termasuk dalam rangkaian pemikirannya dalam filsafat
kehendak, yakni berkaitan dengan noda, dosa, kesalahan dan sebagainya. Hal ini
tidak akan diperpanjang di sini.
Arkoun melihat adanya kesamaan dalam ketiga istilah ini; tanda, simbol
dan mitos, yakni ketiganya memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu di luar
dirinya. Namun ia juga melakukan pembedaan antara tanda, simbol dan mitos. Tanda
adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu lain di luar dirinya. Sedangkan simbol
adalah sesuatu yang merujuk pada sesuatu yang lain dan sesuatu yang lain itupun
merujuk pada rujukan yang baru lagi. Kata merah, misalnya, adalah tanda bagi
sesuatu yang memiliki warna tersebut. Namun kata merah tersebut bisa menjadi
simbol bila sesuatu yang merah itu (makna dari tanda) dijadikan tanda lagi
untuk hal yang lain, sifat pemberani misalnya. Sedangkan simbol bisa menjadi
mitos bila simbol tersebut berada dalam sebuah cerita atau kisah. [13]
Terkait dengan ini, telah dijelaskan dimuka bahwa simbol dan / atau mitos
bersifat terbuka dan mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia karena itulah
mitos sangat potensial untuk menaklukkan kesadaran manusia. Dalam hal ini, Ia
membedakan mitos dari pemitosan. Mitos adalah sesuatu yang mendasari dan
menggambarkan kesadaran kolektif sebuah kelompok dalam kehidupannya. Sedangkan pemitosan
adalah pemanfaatan terhadap mitos oleh mereka yang berusaha mempertahankan
kekuasaannya.
Arkoun menggunakan istilah mitis ini sebagai sebuah pendekatan dalam
menafsirkan al-Qur’an, hal serupa dilakukan oleh Ricouer dalam mengidentifikasi
kejahatan. Arkoun memulai langkahnya dengan pendekatan linguistik terhadap
makna-makna al-Qur’an (linguistik kritis). Di sini ia menemukan keterkaitan
makna antara ayat-ayat al-Qur’an (hubungan kritis).[14] Namun
ia tidak berhenti di sana sebab ia meyakini bahwa dalam membaca al-Qur’an bahwa
teks al-Qur’an bukanlah sebuah tanda tentang sesuatu, melainkan sebuah simbol. Bila
kita memahami kata Adam dalam al-Qur’an, tidak hanya merujuk pada manusia
pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Sebab kata tersebut telah menjadi simbol
yang merujuk kepada manusia secara keseluruhan. Begitu pula dengan ayat-ayat
lainnya.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Arkoun tidak memaksudkan semua usahanya
sebagai sebuah corak tersendiri dalam memahami al-Qur’an, apalagi menyatakan
bahwa tafsirannya adalah yang paling benar. Arkoun hanya ingin mengajak kita
untuk kembali merenungi makna al-Qur’an dan memahaminya sesuai dengan kondisi
ke-kini-an kita. Karena Arkoun sangat yakin bahwa saat ini umat Islam seakan
kemabali pada masa awal Islam, membutuhkan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an,
tidak seperti umat di masa pertengahan yang hanya mampu merepetisi yang sudah
ada. Repetisi seperti itu dapat menghalangi makna al-Qur’an dari para
pembacanya, sangat ironis untuk sebuah langkah tafsir.
Secara umum Arkoun bisa disebut sebagai tokoh reformis, dalam arti ia
masih menerima tradisi lama sejauh bisa berdialektika dengan ke-kin-an. Pada
perjalanan waktu setelahnya, kita akan bertemu dengan Abu Zaid yang juga
seorang reformis, meskipun langkah tafsirnya sedikit berbeda.
DAFTAR
BACAAN
- Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA; Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2003.
- Muhammed Arkoun, NALAR ISLAMI DAN NALAR MODERN: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, INIS, Jakarta 1994
- Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996
- Paul Ricoeur, Hermenutics and the Human Sciences; Essays on Language, action and Interpretation, terj. Oleh Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta 2006.
- F.W Dillistone, The Power of Symbols, terj. Oleh A. Widyamartaya, Kanisius, Yogyakarta 2002
- K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta 2006 (Cetakana keempat)
- Josep Bleicher, HERMENUTIKA KONTEMPORER: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta 2003
- Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, terj. Oleh Hidayatullah, Penerbit Pustaka, Bandung 1998
- Bagus Takwin, Psikologi Naratif: Membaca Manusia sebagai Kisah, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
- Bambang Triatmoko, Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeu, Driyarkara, n0. 2/th. XVI
[1] Artikel
ini ditulis sebagai pengganti tugas Ujian Tengah Semester (UTS) genap 07 untuk
dua mata kuliah; Hermeneutika dan Pemikiran Tafsir Kontemporer yang keduanya
diampu oleh Dr. Sahiron Syamsuddin Ph. d
[2] Lihat
Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA; Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2003. Hlm. 19.
[3] Ibid,
Hlm.43
[4] Ibid,
Hlm. 44
[5] Inilah
gaya baru yang dibawa oleh Ferdinand de Saussure dalam kajian kebahasaan, yakni
sebuah kajian yang memfokuskan diri pada struktur bahasa. Sementara
kajian-kajian sebelumnya lebih bersifat diakronik, kajian lintas waktu dengan perubahan
(evolusi) bahasa sebagai kajian utamanya
[6] Op
Cit, Yasraf Amir Piliang, Hlm 44-46
[7] Paul
Ricoeur, Hermenutics and the Human Sciences; Essays on Language, action and
Interpretation, terj. Oleh Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta 2006.
Hlm 5-6
[8] Untuk
lebih jauh, lihat Muhammed Arkoun, NALAR ISLAMI DAN NALAR MODERN: Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru, INIS, Jakarta 1994. Lihat juga Johan Hendrik
Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran
Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996.
[9] Lihat
Johan Hendrik Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme;
Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996.
Hlm.35-37.
[10] Op
Cit, Paul Ricoeur, Hlm. 196
[11] St.
Sunardi, Membaca Quran Bersama Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik
Mauleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme; Memperbincangkan Pemikiran
Muhammad Arkoun, LKiS, Yogyakarta 1996. Hlm.62
[12] Op
it, Paul Ricoeur, Hlm. 45
[13] Op
Cit, St. Sunardi, Hlm.81
[14] Di sini
ia berbeda dengan kecenderungan pendekatan semiotik yang hanya memahami sesuatu
secara parsial, kata per-kata. Sedangkan dalam hubungan kritis ini Arkoun
berusaha memahami al-Qur’an dalam keterhubungan makna ayat-ayatnya yang
membentuk sebuah simbol yang digambarkan oleh Surat dan keterkaitan surat-surat
itu akan membentuk simbol yang digambarkan oleh keseluruhan al-Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar