Jumat, 27 April 2012

Falsifikasi Karl Popper


KONJEKTUR DAN FALSIFIKASIONISME KARL R. POPPER
Oleh: emkamujib idoeyasha

“…beetles may profitably be collected,
observation may not.”
(K. R. Popper)
A.    Pengantar
Pengembaraan intelektual dalam mengkaji epistemologi keilmuan tidak hanya telah membawa kita melintasi beberapa aliran pemikiran, melainkan juga membawa kita berziarah ke berbagai belahan dunia. Sebelumnya, kita telah mengkaji aliran rasionalisme Rene Descartes, empirisisme Francis Bacon, Idealisme transendental Immanuel Kant,  dan positivisme August Comte. Yang disebutkan belakangan dianggap sebagai kritik, atau setidaknya penyempurna bagi teori yang hadir lebih awal. Sesuai dengan tahapan sejarah yang dibuat Comte, masyarakat positif adalah masyarakat yang tingkat pemikirannya paling tinggi. Dengan kata lain, positivisme dianggap sebagai teori pengetahuan yang paling bisa menjelaskan proses keilmuan manusia.
Positivisme, yang menjadikan pengalaman empirik sebagai sumber pengetahuan, menjadi semakin kuat dengan bantuan para penerusnya[1] dari Lingkaran Wina yang mengusulkan verifikasi[2] sebagai tolok ukur untuk mengatakan sesuatu memiliki makna atau tidak. Bermakna atau tidak bermakna pada gilirannya dijadikan sebagi acuan untuk menyebut apakah sesuatu layak disebut sebagai pengetahuan atau bukan. Mengikuti pengertian ini, bila sesuatu tidak dapat diverifikasi, maka tidak dapat disebut sebagai pengetahuan.
Karl Raimund Popper dilahirkan di Wina, Austria, pada tahun 1902. Sejak berusia 17 tahun, dia menganut komunisme, namun hal ini hanya berjalan selama beberapa tahun. Sebab, setelah ia mendapati para pengikut aliran politik ini menerima begitu saja doktrin-doktrin yang dengan tidak kritis. Pasca Perang Dunia I ia masuk Universitas Wina sekaligus bekerja di pelbagai bidang.[3] Di sinilah karir intelektual Popper dimulai. Pada tahun 1935 dan 1936 ia mengajar di beberapa tempat di Inggris. Pada tahun 1937 ia mengajar di Selandia Baru. Ia juga menulis banyak karya dan yang paling terkenal, khususnya dalam kajian filsafat ilmu adalah The Logic of Scientific Discovery (1959) dan Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (1963).[4]
Yang penting untuk dicatat di sini, menurut hemat penulis, adalah dua bidang besar kajian keilmuan yang sedikit-banyak akan mewarnai pemikiran dan karya Popper. Kedua bidang kajian tersebut adalah kajian sosial dan psikologi (termasuk di dalamnya Marxisme) dan kajian ilmiah (science) yang sedang dirajai oleh Positivisme Logis dengan konsep verifikasi. Tulisan ini akan diarahkan untuk menjelaskan konsep falsifikasi sebagai jawaban Popper untuk masalah demarkasi dan induksi.

B.     Falsifiability dan Testability: Sebuah Problem Demarkasi
Pasca runtuhnya kerajaan Austria, banyak muncul slogan-slogan dan ide-ide revolusi yang penuh semangat. Ada empat teori yang paling memukau Popper; teori relativitas Albert Einstein, teori sejarah Karl Marx, teori psiko-analisa Sigmund Freud dan teori psikologi individual Alfred Adler. Teori relativitas Einstein menempati posisi yang paling istimewa di hatinya, tak lain karena pada tahun 1919, Eddington melakukan sebuah observasi empiris yang membuktikan kebenaran teori Einstein tersebut.[5]
Bukan kebenaran teori itu sendiri yang membuatnya puas, melainkan keterujian teori tersebut yang membuatnya penasaran untuk mengkaji lebih lanjut tiga teori yang lainnya. Dalam kajiannya, ia mendapati bahwa para penganut tiga teori tersebut menerima teori-teori ini secara tidak kritis. Usaha pengkajian terhadap ketiga teori ini harus berhadapan dengan kekuatan magis yang seolah mengatakan, “Bukalah matamu akan sebuah kebenaran baru yang belum pernah terungkap sebelumnya. Sekali kau melihatnya, maka selamanya kebenaran itu akan menampakkan dirinya kepadamu. Dan dunia pun tampak sebagai konfirmasi (verifikasi) bagi kebenarannya.”[6]
Seorang Marxist, misalnya saat membaca surat kabar, tidak akan memperoleh gambaran apapun selain adanya pertentangan kelas, konsep sejarah Marxist, dan lain sebagainya yang memang telah mengakar di alam bawah sadar mereka. Begitu juga yang terjadi pada dua teori lainnya.
Usaha pengkajian mendalam terhadap tiga teori selalu dihalangi oleh sikap ideologis para pengikutnya yang ingin mempertahankan ‘kebenaran’ teori yang mereka yakini. Walhasil, ketiga teori ini ‘aman’ dari jamahan para pengkaji yang berusaha untuk mengkaji kelemahan dan kelebihan teori-teori tersebut. Sejak saat itu, Popper menyatakan diri sebagai anti-Marxist.
Konteks inilah yang mendorong Popper membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang pertama, Popper menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji kebenarannya (testable) melalui suatu metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemungkinan apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau tidak (falsifiable).
Dua prinsip ini, yang selanjutnya akan disebut dengan falsifikasi (falsification),  digunakan Popper sebagai garis pembatas (demarkasi) yang akan membedakan science dari pseudeo-science.[7] Inilah yang membedakan Popper dari para pemikir Positivisme Logis yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification) yang mereka ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah pernyataan atau teori.
Namun sebenarnya, pemosisian verifikasi dan falsifikasi secara binner juga tidak tepat, sebab seperti yang dikatakan oleh Popper bahwa kontribusi yang ia berikan, melalui metode falsifikasi ini, tidak memiliki kaitan dengan makna sebuah pernyataan, melainkan demi membuat sebuah batasan-batasan keilmiahan suatu teori. Bila sebuah teori terbukti tidak ilmiah, karena tidak lulus uji falsifikasi atau bersifat metafisis, hal itu tidak kemudian mengandaikan bahwa teori tersebut tidak bermakna (meaningless, nonsensical). Teori psiko-analisis Freud, misalnya, mungkin telah memberikan sumbangsih tertentu yang membawa kemajuan dalam bidang psikologi. Namun sayangnya, teori itu, walaupun telah diracik sedemikian mungkin dari sebuah penelitian tertentu, tetap saja tidak dapat memperoleh status ilmiah.
Falsifikasi dirancang oleh Popper untuk menjadi solusi bagi masalah demarkasi. Bagi Popper, demarkasi yang dibuat oleh kelompok Postivisme telah membatasi ilmu pengetahuan hanya pada yang ilmiah saja, sementara ilmu-ilmu social (khususnya agama dan mitos-mitos) dianggap sebagai tidak ilmiah, dan demikian tidak bermakna. Dengan falsifikasi Popper memberikan batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah (science) dan yang semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper masih memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu, pemosisian verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota Lingkaran Wina telah membuat kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. It was not I who introduced them into the theory of meaning.”[8]

C.     Metode Ilmiah dan Problematikanya
Sebagai pemikir yang terlahir di kota Wina, di mana Positivisme Logis berdiri, diakui atau tidak, Popper banyak dipengaruhi oleh teori-teori positivistik. Terlihat dari pemaparan sebelumnya bahwa Popper mensyaratkan testability dan falsifiability sebagai tolok ukur apakah sebuah pernyataan bisa disebut ilmiah atau tidak. Dua syarat ini dijadikan sebagai prinsip dari sebuah prosedur ilmiah yang dilakukan secara empiris. Dengan kata lain, pengalaman empiris tetap menjadi menjadi syarat keilmiahan suatu pernyataan. Di sinilah kita menemukan bahwa, di satu sisi, falsifikasi menjadi tali penghubung antara pemikiran Popper dan para pemikir dari aliran Positivisme dan Empirisme.[9]
Namun demikian, dilihat dari sisi yang berbeda, falsifikasi juga menunjukkan karakter khas yang membedakan Popper dari para pemikir di Lingkungan Wina. Para pemikir di Lingkungan Wina berfokus pada makna dari suatu pernyataan atau teori. Digunakanlah verifikasi sebagai tolok ukurnya. Sementara Popper mencoba membangun sebuah tembok pemisah antara teori ilmiah dan dan yang non-ilmiah. Di sinilah falsifikasi menjadi identitas yang khas pada Popper.

Verifikasi dan Kelemahannya
Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar), facere (membuat). Verifikasi merupakan suatu usaha konfirmasi untuk memastikan suatu pernyataan (proposisi) dengan menggunakan metode empirik. Istilah ini digunakan oleh Kelompok Wina yang menganut Positivisme Logis yang meyakini bahwa suatu pernyataan dianggap bermakna bila dapat dibuktikan dengan data-data inderawi, dan dikatakan benar bila data tersebut membenarkannya.[10]
Metode verifikasi digunakan dalam kajian ilmiah tahap keenpat, di mana seorang ilmuwan menguji kebenaran suatu teori yang dihasilkan dari sebuah observasi. Diyakini di sini bahwa kebenaran suatu teori bergantung pada pembuktian empiris yang menyokong keabsahan teori tersebut.
Metode ini dijalankan secara induktif. Artinya, seorang pengkaji melakukan observasi dengan mengumpulkan data-data empiris yang berkenaan dengan teori yang sedang dikaji. Hasil observasi ini nantinya yang akan ‘menghitam-atau-putihkan’ teori tersebut.[11]
Angsa adalah unggas yang berwarna putih. Untuk membuktikan kebenaran statemen ini, peneliti mengadakan penelitian untuk menemukan dan mengumpulkan data empiris yang bisa mengkonfirmasi kebenaran ungkapan tersebut.
Tampaknya, dengan metode ini, statu ‘benar’ bagi suatu teori memang diperoleh melalui uji verifikasi yang ketat dan terjamin. Namun, pada praktiknya, proses verifikasi hanya diwarnai dengan usaha pencarian pembenaran bagi teori yang sedang diteliti. Hal ini berkenaan dengan metode induksi yang diadopsi dalam praktik verifikasi. Masalah ini akan dikupas pada pembahasan berikutnya.
Uji verifikasi yang hanya berfokus pada pencarian data yang akan membuktikan kebenaran suatu teori, adalah proses yang mudah dilakukan dan karena itu tidak layak dijadikan patokan. Usaha mengkonfirmasi suatu teori mestinya dilakukan dengan mencari data yang bertentangan dengan teori tersebut, sebab teori yang bagus bukanlah teori yang hanya dihiasi dengan pembenaran-pembenaran, melainkan teori yang mampu untuk tetap tegak di hadapan data-data yang menyangkalnya.[12]

Hume Menggugat Metode Induksi
Pada awalnya, David Hume (1711-1776), seorang pemikir Skotlandia, berada dalam barisan yang sama dengan John Locke. Keduanya adalah penerus empirisme Francis Bacon. Hanya saja, dalam petualangan intelektualnya, Hume justru menghadapi irasionalitas dalam metode induksi yang juga dikembangkan oleh Bacon.
Kata induksi (induction) berasal dari bahasa latin in (dalam, ke dalam) dan decure (mengantar). Dalam terminologi filsafat, induksi merujuk pada aktivitas penalaran yang berangkat dari suatu bagian suatu keseluruhan, dari contoh-contoh khusus sesuatu menuju suatu pernyataan umum tentangnya; dari hal individual ke hal-hal universal.[13]
Dalam pandangan Hume, metode induksi hanya didasarkan pada prinsip kesamaan (similarity). Anjing pelacak, misalnya, dapat mengenal sesuatu seperti bau sebuah benda melalui proses pengenalan pada yang sama. Padahal prinsip semacam ini bukanlah prinsip yang bisa dipegang teguh. Sebab prinsip ini telah menggunakan pengalaman di masa lalu untuk membuat kesimpulan tentang masa yang akan datang. Induction transcends experiences.
Popper merasa bahwa kritik Hume ini lebih bersifat psikologis dibading filosofis. Menurut Popper, sebuah observasi selalu bersifat selektif, artinya di dalamnya dibutuhkan sebuah batasan yang jelas tentang apa masalah yang akan diteliti, objek yang harus diteliti, serta cara pandang yang akan dipakai. Pernah dalam sebuah pertemuan kuliah Popper meminta para mahasiswanya untuk menuliskan apapun yang mereka lihat. Saat itu mereka mengkonfirmasi perintah Popper untuk memperjelas perintahnya.
Mengutip D. Katz, ia mengemukakan contoh lain untuk mengilustrasikan problem ini. Seekor binatang yang sedang lapar (a hungry animal) membagi dunia menjadi dua jenis; jenis yang bisa dimakan (edible) dan jenis yang tak bisa dimakan (inedible). Binatang yang sedang terbang melihat jalan sebagai dua jenis yang berbeda; tempat persembunyian dan tempat jalan keluar. Artinya, objek akan berubah sesuai dengan kebutuhan binatang ini.[14]
Hal serupa akan berlaku pada para pengkaji yang sedang meneliti suatu teori. Mereka akan cenderung melihat data sesuai dengan kebutuhan mereka, konfirmasi kebenaran teori yang sedang dikaji. Karena itu, Popper membuat sebuah pertanyaan sindiran, “lebih dulu mana, telur atau ayam? Lebih dulu mana hipotesis ataukah penelitian?”
Di sini ia membedakan dua sikap para pengkaji ilmu pengetahuan; sikap dogmatis dan sikap kritis. Sikap dogmatis cenderung membawa ilmuwan sebagai pengkaji untuk melakukan verifikasi; memberikan pembelaan dengan mencari dan mengumpulkan data-data penguat agar teori yang ia yakini dinyatakan sebagai benar dan bermakna. Sebaliknya, sikap kritis akan cenderung mendorong ilmuwan untuk melakukan falsifikasi; menguji sebuah teori dengan mencari data-data yang dapat menunjukkan kelemahan dan keterbatasan teori tersebut. Seorang ilmuwan kritis cenderung untuk mengganti sebuah teori dengan teori yang baru. Perbedaan sikap inilah yang menjadi sumber dari adanya pembedaan science dan pseudo-science.

Konjektur dan Falsifikasi
Diperlukan sebuah kondisi untuk membentuk sikap kritis pada diri para pengkaji ilmu pengetahuan. Untuk itu, Popper mengusulkan terma konjektur (conjectures). Secara leksikal, kata conjecture semakna dengan kata guess (menduga);[15] conjectural hypothesis bisa dipahami sebagai hipotesis yang dilandaskan pada dugaan. Karena itulah ada yang membedakan conjecture dari hypothesis; di mana yang pertama berada pada tingkatan lebih lemah dibanding yang kedua. Namun dalam praktiknyaa, ada pula yang menggunakan kata conjecture sebagai pengganti kata hypothesis.
Conjecture bisa dipahami sebagai sebuah pernyataan yang belum bisa dpastikan kebenaran atau kesalahannya.[16] Dengan terma ini, Popper menghendaki agar suatu pernyataan atau teori dianggap sebagai conjecture, dalam artian pernyataan atau teori tersebut masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut, sebagaimana sikap kita pada sebuah dugaan. Pemosisian pernyataan atau teori sebagai conjecture akan memberikan stimulan bagi dilangsungkannya kegiatan-kegiatan penelitian ilmiah.
Sementara mereka yang meletakkan sebuah pernyataan atau teori pada posisi kebenaran, atau telah meyakini kebenaran suatu pernyataan sebelum melakukan penyelidikan, akan cenderung mencari data-data pendukung untuk melindungi keyakinan mereka tersebut. Inilah sikap dogmatis yang telah kita bicarakan sebelumnya.
Conjecture memiliki peran yang sangat penting dalam pemikiran Popper. Conjecture menjelaskan posisi masing-masing antara peneliti dan teori yang sedang diteliti. Di samping itu, conjecture memberikan rasa tega (baca: kekuatan) pada peneliti untuk menemukan data-data yang dapat menyalahkan, atau setidaknya melemahkan, teori tersebut. Singkat kata, conjecture merupakan prinsip yang membentuk sikap kritis seorang peneliti.
Sikap kritis inilah yang kemudian digunakan untuk melakukan proses falsifikasi. Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen. Falsifikasi berlandaskan pada suatu postulat yang berbunyi bahwa proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka pernyatan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan-pernyataan itu didasarkan pada observasi.[17]
Sejenak kita lihat definisi di atas menggambarkan pertentangan antara verifikasi dan falsifikasi; verifikasi cenderung memberikan pembenaran, falsifikasi berupaya menyalahkan. Namun sebagaimana telah kita bahas di awal tulisan ini, Popper secara tegas menyatakan bahwa falsifikasi tidak ditujukan untuk mengkaji teori makna, sebagaimana verifikasi, melainkan untuk membuat garis pembeda antara science dan pseudo-science.
Selain perbedaan tujuan, falsifikasi berbeda dengan verifikasi dalam titik tolaknya. Verifikasi bergerak dari observasi menuju sebuah teori (induktif), sedangkan falsifikasi berangkat dari sebuah teori menuju observasi (deduktif). Sebentar lagi kita akan melihat perbedaan dua titik tolak ini.
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa falsifikasi dibangun di atas dua prinsip; testability dan falsifiabilty; bahwa sebuah asumsi atau teori ilmiah harus bisa diuji dan memiliki kemungkinan untuk dibuktikan kesalahannya. Testability sudah cukup dipahami, karena verifikasi pun memiliki prinsip yang sama. Namun bagaimana dengan prinsip falsifiability?
Tidak seperti verifikasi yang bersifat induktif, falsifikasi dijalankan dengan menggunakan logika deduktif. Artinya, berangkat dari sebuah hipotesis umum (dalam istilah Popper: konjektur) menuju observasi yang sifatnya khusus. Observasi yang dilakukan bertujuan untuk menemukan kesalahan-kesalahan yang ada dalam hipotesis tersebut. Penyelidikan ini tidak berfungsi untuk menolak total hipotesis, melainkan untuk menemukan titik lemah (weak spots) dari sebuah hipotesis yang umum. Karena hipotesisnya disusun deduktif, dan lebih berupa grand-theory, maka pengujian tersebut berfungsi untuk menajamkan daerah keberlakuan hipotesis besar tersebut.[18] Semakin sering sebuah teori menjawab bantahan, semakin dekat ia dengan status kebenaran.
Contoh sederhana akan memudahkan kita memahami metode ini. Kita akan menggunakan metode verifikasi dan falsifikasi untuk menguji sebuah hipotesis yang berbunyi, “Semua burung gagak berwarna hitam.” Bila menggunakan metode verifikasi, peneliti akan mencari data-data yang menyatakan bahwa burung gagak memang berwarna hitam. Dengan data-data yang dikumpulkan tersebut, diyakini bahwa hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam” dinyatakan sebagai benar dan ilmiah. Sementara bila menggunakan metode falsifikasi, peneliti justru akan mencari data yang akan meruntuhkan hipotesis tersebut, membuktikan kesalahannya. Dalam proses observasi terhadap 500 ekor burung gagak, bila terdapat satu ekor saja yang berwarna selain hitam, maka itu dinyatakan cukup untuk memfalsifikasi hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam.” Dengan kata lain, setumpuk hasil observasi, yang digunakan oleh verifikasionist, tidak akan bermakna bila dibandingkan dengan satu data yang berbeda tadi.[19]
Tampak perbedaan antara verifikasi yang menggunakan logika induktif dan ferifikasi yang menggunakan logika deduktif yang diterapkan dalam sebuah penelitian. Induksi yang berangkat dari fakta-fakta spesifik tidak memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan sebagai penentu hal-hal yang sifatnya lebih umum, sebab kemungkinan untuk terjadinya anomali tetap terbuka. Di samping itu, sebagaimana juga dipertanyakan oleh Max Born, tidak ada kriteria yang memeriksa validitas dari metode induksi, dan herannya, metode ini diyakini bersama oleh sebagian besar ilmuwan.
Sebaliknya, falsifikasi dengan logika deduktif bergerak dari yang umum menuju yang khusus dengan adanya observasi lebih lanjut pada cakupan teori yang umum tersebut. Kemungkinan adanya anomali juga terbuka, namun kekurangan ini akan ditutupi oleh proses falsifikasi yang memang sengaja dilakukan untuk penyempurnaan tersebut.[20]
Contoh terbaik mengenai proses falsifikasi, sebagaimana diakui oleh Popper, adalah teori relativitas Albert Einstein. Einstein menyatakan bahwa ruang bukanlah sesuatu yang tak berhingga (mutlak), melainkan senantiasa berhubungan dengan  kerangka acuan pengamatnya. Ruang memiliki bentuk dan tidak dapat dipilah-pilah. Teori ini merupakan falsifying hypothesis yang berusaha menyanggah teori kosmologi Isaac Newton (basic statement) yang meyakini bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak. Ruang dan waktu tidak terpengaruh oleh apapun di luar dirinya.[21] Dengan pengertian ini, gerakan benda atau apapun yang berada di dalam ruang dan waktu tidak akan berpengaruh pada ruang dan waktu itu sendiri. Alam berada dalam keteraturan.
Bila Einstein memiliki hipotesis yang berbeda dengan teori Newton, maka seharusnya hipotesis Einstein menunjukkan data yang menyalahkan teori yang telah bertahan selama beberapa abad tersebut. Arthur Eddington, seorang ilmuwan Inggris mengadakan penelitian untuk membuktikan teori siapakah yang benar. Hasil penelitian itu mengkonfirmasi kebenaran teori Einstein yang berarti telah memfalsifikasi teori Newton. Fakta ini berpengaruh besar dalam dunia fisika, dan, seperti yang dinyatakan sebelumnya, juga mendorong Popper melakukan kajian ilmiah.
Dalam menanggapi kritik Hume tentang kelemahan metode induksi, Popper menyatakan persetujuannya dengan Hume saat mengatakan bahwa metode induksi bukanlah prosedur ilmiah yang valid dan berpegang padanya adalah tindakan irrasional. Namun, Popper memberikan perincian; bila yang dimaksud dengan ‘berpegang’ adalah menerima apa adanya tanpa aktivitas falsifikasi, maka ia bersepakat dengan dengan Hume. Sebaliknya, ia tidak bersepakat dengan Hume jika yang dimaksud dengan kata ‘berpegang’ tersebut hanyalah bentuk penerimaan tentatif untuk kemudian diadakan kajian lebih lanjut.
Kelemahan verifikasi dan metode induksi, dalam pandangan Popper, adalah tidak adanya prosedur ilmiah yang mantap, yakni conjecture dan falsification. Conjecture akan menumbuhkan sikap kritis dalam mengkaji suatu masalah, dan falsification akan terus menjaga pintu kajian ilmiah tetap terbuka. Inilah bentuk kegagalan induksi dalam membangun sebuah demarkasi.[22]

D.    Relevansi Teori Popper dalam Kajian Keislaman
Untuk membuat kajian ini lebih hidup, perlulah kiranya kita mempertemukannya dengan realitas kita sehari-hari, dalam hal ini dunia keislaman. Namun perlu disadari sebelumnya bahwa terdapat problem teologis di sini, bukan karena Popper adalah non-Muslim, melainkan karena kajian Popper murni untuk science.
Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menegaskan batasan makna kajian keislaman di sini. Bila yang dimaksudkan adalah Tuhan, maka jelaslah kita tidak dapat mengkajinya menggunakan metode falsifikasi Popper karena alasan yang sudah kita bahas pada awal kajian. Bila yang dimaksudkan adalah al-Qur’an, di sini penulis melihat adanya tantangan. Kita ketahui bahwa ada dua kecenderungan dalam kajian al-Qur’an yang menurut Komaruddin Hidayat berasal dari daya al-Qur’am itu sendiri; daya sentrifugal dan sentripetal al-Qur’an. Gerak sentrifugal adalah daya dorong al-Qur’an yang sangat kuat bagi umat Islam (para pengkajinya) untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sementara gerak sentripetal adalah daya tarik al-Qur’an bagi para pengkajinya untuk selalu kembali merujuk kepada ayat-ayatnya.[23]
Meskipun tidak tersurat secara gamblang, dua daya tersebut mengilustrasikan posisi sentral al-Qur’an dalam kajian al-Qur’an. Beberapa sarjana Muslim telah mencoba mendekati al-Qur’an menggunakan teori-teori ilmiah (tafsir bil ‘ilmy). Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang berhubungan dengan alam semesta. Lebih jauh, bisa dikatakan bahwa ruang pertarungan antara verifikasi dan falsifikasi terbuka luas di sini. Mungkinkah keduanya bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam tafsir bil ilmy?
Tampaknya lagi-lagi akan ada problem teologis yang harus dihadapi para pengkaji. Namun bila yang dimaksud dengan kajian keislaman adalah pemikiran para sarjana Muslim tentang teks al-Qur’an atau al-Hadits yang berhubungan dengan sains, aplikasi metode falsifikasi Popper ini sangat mungkin dilakukan.
Dengan tanpa melihat objek materiil kajian keislaman yang akan dilakukan, kita bisa melihat semangat keilmuan yang dikandung oleh pemikiran Popper ini, bahwa sebuah teori bukanlah kebenaran. Teori masih membutuhkan pengkajian lebih jauh unytuk menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya untuk kemudian dibangun sebuah penyempurnaan. Sikap dogmatis pada sebuah teori tertentu akan membawa ilmuwan pada kematian ilmu pengetahuan. Sekali lagi, Popper mengatakan bahwa predikat terbaik yang bisa dicapai oleh sebuah teori adalah mendekati kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Conjecture dan falsification adalah tawaran Popper pada ilmu pengetahuan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kematian dini.

E.     Catatan Penutup
Bila kita kaji lebih mendalam, benar kiranya bila dinyatakan bahwa verifikasi dan falsifikasi bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Baik verifikasi ataupun falsifikasi adalah metode yang digunakan untuk menguji sebuah hasil observasi. Dengan prinsip conjecture, verifikasi bisa diterima sejauh ia disikapi sebagai sebuah bahan bagi kajian selanjutnya. Atau dapat dikatakan bahwa verifikasi adalah tahapan menuju falsifikasi.
Popper menyatakan bahwa dirinya masih menunggu sebuah kritik yang sistematis dan jelas berkenaan dengan solusi yang ia tawarkan untuk pemecahan masalah demarkasi dan induksi sejak tahun 1933.[24] Dengan demikian, falsifikasi Popper juga membutuhkan upaya penajaman melalui proses falsifikasi atau metode lain yang lebih baik.










Daftar Bacaan
1.      Bagus, Lorens,  Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia: 2002)
2.      Bertens, K.,  Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 2002)
3.      Crowther, Jonathan (ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 1995)
4.      Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju Mizan, 2003)
5.      Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
6.      Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2006)
7.      Popper, K. R., Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge and Kegan Paul, 1969)
8.      ____________, The Logic of Saintific Discovery, (London: Hutchinson, 1968)
9.      www.Wordpress.com




[1] Para penerus positivisme ini disebut sebagai neo-positivisme atau positivism logis, yakni aliran yang membatasi  pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan empiris. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia: 2002), hlm.862-863.
[2] Verifikasi adalah suatu proses uji empiris terhadap suatu pernyataan; bila ada data-data empiris yang membenarkan pernyataan tersebut, maka ia layak disebut sebagai benar. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 1158. Lebih lanjut tentang verifikasi akan dibahas belakangan, sebagai konsep yang diperbandingkan dengan konsep falsifikasi.
[3] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 72.
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. hlm. 74-76.
[5] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge and Kegan Paul, 1969). hlm. 34.
[6] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 35.
[7] Kata pseudo diterjemahkan dengan kata not genuine (palsu), pretended (berpura-pura/gadungan), dan insincere (bermuka dua/tidak jujur). Lihat Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, New York, 1995. hlm. 935. Frase pseudo-science karena kebenarannya tidak teruji melalui prosedur ilmiah dan selalu dilindungi oleh argumentasi yang cenderung ideologis dan mitis. Disebut (pseudo-)science karena dibuat melalui sebuah penelitian tertentu.
[8] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 38-41.
[9] Kesamaan epistemologis ini meniscayakan bahwa dalam pemikiran Popper pengalaman empiris merupakan sumber pengetahuan yang digali menggunakan alat yang bernama panca indera.
[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 115
[11] www.Wordpress.com
[12] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 36.
[13] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 343.
[14] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 46-47.
[15] Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. hlm. 242.
[16] www.Wikipedia.com
[17] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 227.
[18] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2006). hlm. 178.
[19] Karl Popper, The Logic of Saintific Discovery, (London: Hutchinson, 1968) hlm. 27.  Suatu hipotesis dapat dikatakan telah terfalsifikasi bukan hanya karena hipotesis itu memenuhi prinsip testability dan falsfiability, namun juga karena ada data (falsifying hypotesis) yang membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Karl Popper, The Logic of Saintific Discovery, hlm. 86-87.
[20] Dipahami dari sini bahwa proses falsifikasi, yang memang bertendensi menemukan kesalahan dari sebuah teori, tidak selalu mendapatkan hasil yang positif, dalam arti teori yang sedang diteliti memang mengandung kesalahan dan kelemahan. Hasil negative juga sangat mungkin utuk menjadi hasil kajian falsifikatif ini. Karena itu Popper juga mengenalkan istilah refutability dan corroboration. Terma yang pertama mengacu pada hasil penelitian yang positif, dalam arti sebuah teori  terbukti salah. Sedangkan yang disebutkan terakhir merujuk pada kondisi di mana sebuah teori justru mendapatkan pengukuhan karena telah dinyatakan lulus dalam uji falsifikasi. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, hlm 79.
[21] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 232-244.
[22] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 51-53.
[23] Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju Mizan, 2003), hlm. 17-18.
[24] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, Hlm. 55.

0 komentar:

Posting Komentar