KONJEKTUR DAN FALSIFIKASIONISME KARL R. POPPER
Oleh: emkamujib idoeyasha
“…beetles
may profitably be collected,
observation
may not.”
(K.
R. Popper)
A.
Pengantar
Pengembaraan intelektual dalam
mengkaji epistemologi keilmuan tidak hanya telah membawa kita melintasi
beberapa aliran pemikiran, melainkan juga membawa kita berziarah ke berbagai
belahan dunia. Sebelumnya, kita telah mengkaji aliran rasionalisme Rene
Descartes, empirisisme Francis Bacon, Idealisme transendental Immanuel
Kant, dan positivisme August Comte. Yang
disebutkan belakangan dianggap sebagai kritik, atau setidaknya penyempurna bagi
teori yang hadir lebih awal. Sesuai dengan tahapan sejarah yang dibuat Comte,
masyarakat positif adalah masyarakat yang tingkat pemikirannya paling tinggi.
Dengan kata lain, positivisme dianggap sebagai teori pengetahuan yang paling
bisa menjelaskan proses keilmuan manusia.
Positivisme, yang menjadikan
pengalaman empirik sebagai sumber pengetahuan, menjadi semakin kuat dengan
bantuan para penerusnya[1]
dari Lingkaran Wina yang mengusulkan verifikasi[2]
sebagai tolok ukur untuk mengatakan sesuatu memiliki makna atau tidak. Bermakna
atau tidak bermakna pada gilirannya dijadikan sebagi acuan untuk menyebut
apakah sesuatu layak disebut sebagai pengetahuan atau bukan. Mengikuti
pengertian ini, bila sesuatu tidak dapat diverifikasi, maka tidak dapat disebut
sebagai pengetahuan.
Karl Raimund Popper dilahirkan di
Wina, Austria, pada tahun 1902. Sejak berusia 17 tahun, dia menganut komunisme,
namun hal ini hanya berjalan selama beberapa tahun. Sebab, setelah ia mendapati
para pengikut aliran politik ini menerima begitu saja doktrin-doktrin yang
dengan tidak kritis. Pasca Perang Dunia I ia masuk Universitas Wina sekaligus
bekerja di pelbagai bidang.[3] Di sinilah karir intelektual Popper dimulai. Pada tahun 1935 dan
1936 ia mengajar di beberapa tempat di Inggris. Pada tahun 1937 ia mengajar di
Selandia Baru. Ia juga menulis banyak karya dan yang paling terkenal, khususnya
dalam kajian filsafat ilmu adalah The Logic of Scientific Discovery (1959)
dan Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (1963).[4]
Yang penting untuk dicatat di sini,
menurut hemat penulis, adalah dua bidang besar kajian keilmuan yang
sedikit-banyak akan mewarnai pemikiran dan karya Popper. Kedua bidang kajian
tersebut adalah kajian sosial dan psikologi (termasuk di dalamnya Marxisme) dan
kajian ilmiah (science) yang sedang dirajai oleh Positivisme Logis
dengan konsep verifikasi. Tulisan ini akan diarahkan untuk menjelaskan konsep
falsifikasi sebagai jawaban Popper untuk masalah demarkasi dan induksi.
B.
Falsifiability dan Testability:
Sebuah Problem Demarkasi
Pasca runtuhnya kerajaan Austria,
banyak muncul slogan-slogan dan ide-ide revolusi yang penuh semangat. Ada empat
teori yang paling memukau Popper; teori relativitas Albert Einstein, teori
sejarah Karl Marx, teori psiko-analisa Sigmund Freud dan teori psikologi
individual Alfred Adler. Teori relativitas Einstein menempati posisi yang
paling istimewa di hatinya, tak lain karena pada tahun 1919, Eddington
melakukan sebuah observasi empiris yang membuktikan kebenaran teori Einstein tersebut.[5]
Bukan kebenaran teori itu sendiri yang
membuatnya puas, melainkan keterujian teori tersebut yang membuatnya penasaran
untuk mengkaji lebih lanjut tiga teori yang lainnya. Dalam kajiannya, ia
mendapati bahwa para penganut tiga teori tersebut menerima teori-teori ini
secara tidak kritis. Usaha pengkajian terhadap ketiga teori ini harus
berhadapan dengan kekuatan magis yang seolah mengatakan, “Bukalah matamu
akan sebuah kebenaran baru yang belum pernah terungkap sebelumnya. Sekali kau
melihatnya, maka selamanya kebenaran itu akan menampakkan dirinya kepadamu. Dan
dunia pun tampak sebagai konfirmasi (verifikasi) bagi kebenarannya.”[6]
Seorang Marxist, misalnya saat
membaca surat kabar, tidak akan memperoleh gambaran apapun selain adanya
pertentangan kelas, konsep sejarah Marxist, dan lain sebagainya yang memang
telah mengakar di alam bawah sadar mereka. Begitu juga yang terjadi pada dua
teori lainnya.
Usaha pengkajian mendalam terhadap
tiga teori selalu dihalangi oleh sikap ideologis para pengikutnya yang ingin
mempertahankan ‘kebenaran’ teori yang mereka yakini. Walhasil, ketiga teori ini
‘aman’ dari jamahan para pengkaji yang berusaha untuk mengkaji kelemahan dan
kelebihan teori-teori tersebut. Sejak saat itu, Popper menyatakan diri sebagai
anti-Marxist.
Konteks inilah yang mendorong Popper
membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip
utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang
pertama, Popper menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji
kebenarannya (testable) melalui suatu metode empiris. Pengujian ini
dilakukan untuk melihat kemungkinan apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan
kesalahannya atau tidak (falsifiable).
Dua prinsip ini, yang selanjutnya
akan disebut dengan falsifikasi (falsification), digunakan Popper sebagai garis pembatas
(demarkasi) yang akan membedakan science dari pseudeo-science.[7] Inilah yang membedakan Popper dari para pemikir Positivisme Logis
yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification) yang mereka
ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah pernyataan atau
teori.
Namun sebenarnya, pemosisian
verifikasi dan falsifikasi secara binner juga tidak tepat, sebab seperti
yang dikatakan oleh Popper bahwa kontribusi yang ia berikan, melalui metode
falsifikasi ini, tidak memiliki kaitan dengan makna sebuah pernyataan,
melainkan demi membuat sebuah batasan-batasan keilmiahan suatu teori. Bila sebuah
teori terbukti tidak ilmiah, karena tidak lulus uji falsifikasi atau bersifat
metafisis, hal itu tidak kemudian mengandaikan bahwa teori tersebut tidak
bermakna (meaningless, nonsensical). Teori psiko-analisis Freud,
misalnya, mungkin telah memberikan sumbangsih tertentu yang membawa kemajuan
dalam bidang psikologi. Namun sayangnya, teori itu, walaupun telah diracik
sedemikian mungkin dari sebuah penelitian tertentu, tetap saja tidak dapat
memperoleh status ilmiah.
Falsifikasi dirancang oleh Popper
untuk menjadi solusi bagi masalah demarkasi. Bagi Popper, demarkasi yang dibuat
oleh kelompok Postivisme telah membatasi ilmu pengetahuan hanya pada yang
ilmiah saja, sementara ilmu-ilmu social (khususnya agama dan mitos-mitos)
dianggap sebagai tidak ilmiah, dan demikian tidak bermakna. Dengan falsifikasi
Popper memberikan batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah (science)
dan yang semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper
masih memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber
pengetahuan dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena
itu, pemosisian verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan
angota Lingkaran Wina telah membuat kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. “It
was not I who introduced them into the theory of meaning.”[8]
C.
Metode Ilmiah dan Problematikanya
Sebagai pemikir yang terlahir di
kota Wina, di mana Positivisme Logis berdiri, diakui atau tidak, Popper banyak
dipengaruhi oleh teori-teori positivistik. Terlihat dari pemaparan sebelumnya
bahwa Popper mensyaratkan testability dan falsifiability sebagai
tolok ukur apakah sebuah pernyataan bisa disebut ilmiah atau tidak. Dua syarat
ini dijadikan sebagai prinsip dari sebuah prosedur ilmiah yang dilakukan secara
empiris. Dengan kata lain, pengalaman empiris tetap menjadi menjadi syarat
keilmiahan suatu pernyataan. Di sinilah kita menemukan bahwa, di satu sisi,
falsifikasi menjadi tali penghubung antara pemikiran Popper dan para pemikir dari
aliran Positivisme dan Empirisme.[9]
Namun demikian, dilihat dari sisi yang
berbeda, falsifikasi juga menunjukkan karakter khas yang membedakan Popper dari
para pemikir di Lingkungan Wina. Para pemikir di Lingkungan Wina berfokus pada
makna dari suatu pernyataan atau teori. Digunakanlah verifikasi sebagai tolok
ukurnya. Sementara Popper mencoba membangun sebuah tembok pemisah antara teori
ilmiah dan dan yang non-ilmiah. Di sinilah falsifikasi menjadi identitas yang
khas pada Popper.
Verifikasi
dan Kelemahannya
Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar),
facere (membuat). Verifikasi merupakan suatu usaha konfirmasi untuk
memastikan suatu pernyataan (proposisi) dengan menggunakan metode empirik. Istilah
ini digunakan oleh Kelompok Wina yang menganut Positivisme Logis yang meyakini
bahwa suatu pernyataan dianggap bermakna bila dapat dibuktikan dengan data-data
inderawi, dan dikatakan benar bila data tersebut membenarkannya.[10]
Metode verifikasi digunakan dalam kajian ilmiah tahap keenpat, di
mana seorang ilmuwan menguji kebenaran suatu teori yang dihasilkan dari sebuah
observasi. Diyakini di sini bahwa kebenaran suatu teori bergantung pada
pembuktian empiris yang menyokong keabsahan teori tersebut.
Metode ini dijalankan secara induktif. Artinya, seorang pengkaji
melakukan observasi dengan mengumpulkan data-data empiris yang berkenaan dengan
teori yang sedang dikaji. Hasil observasi ini nantinya yang akan
‘menghitam-atau-putihkan’ teori tersebut.[11]
Angsa adalah unggas yang berwarna putih. Untuk membuktikan
kebenaran statemen ini, peneliti mengadakan penelitian untuk menemukan dan
mengumpulkan data empiris yang bisa mengkonfirmasi kebenaran ungkapan tersebut.
Tampaknya, dengan metode ini, statu ‘benar’ bagi suatu teori memang
diperoleh melalui uji verifikasi yang ketat dan terjamin. Namun, pada
praktiknya, proses verifikasi hanya diwarnai dengan usaha pencarian pembenaran
bagi teori yang sedang diteliti. Hal ini berkenaan dengan metode induksi yang
diadopsi dalam praktik verifikasi. Masalah ini akan dikupas pada pembahasan
berikutnya.
Uji verifikasi yang hanya berfokus pada pencarian data yang akan
membuktikan kebenaran suatu teori, adalah proses yang mudah dilakukan dan
karena itu tidak layak dijadikan patokan. Usaha mengkonfirmasi suatu teori
mestinya dilakukan dengan mencari data yang bertentangan dengan teori tersebut,
sebab teori yang bagus bukanlah teori yang hanya dihiasi dengan
pembenaran-pembenaran, melainkan teori yang mampu untuk tetap tegak di hadapan
data-data yang menyangkalnya.[12]
Hume
Menggugat Metode Induksi
Pada awalnya, David Hume (1711-1776), seorang pemikir Skotlandia,
berada dalam barisan yang sama dengan John Locke. Keduanya adalah penerus
empirisme Francis Bacon. Hanya saja, dalam petualangan intelektualnya, Hume
justru menghadapi irasionalitas dalam metode induksi yang juga dikembangkan
oleh Bacon.
Kata induksi (induction) berasal dari bahasa latin in
(dalam, ke dalam) dan decure (mengantar). Dalam terminologi filsafat,
induksi merujuk pada aktivitas penalaran yang berangkat dari suatu bagian suatu
keseluruhan, dari contoh-contoh khusus sesuatu menuju suatu pernyataan umum
tentangnya; dari hal individual ke hal-hal universal.[13]
Dalam pandangan Hume, metode induksi hanya didasarkan pada prinsip
kesamaan (similarity). Anjing pelacak, misalnya, dapat mengenal sesuatu
seperti bau sebuah benda melalui proses pengenalan pada yang sama. Padahal
prinsip semacam ini bukanlah prinsip yang bisa dipegang teguh. Sebab prinsip
ini telah menggunakan pengalaman di masa lalu untuk membuat kesimpulan tentang
masa yang akan datang. Induction transcends experiences.
Popper merasa bahwa kritik Hume ini lebih bersifat psikologis
dibading filosofis. Menurut Popper, sebuah observasi selalu bersifat selektif,
artinya di dalamnya dibutuhkan sebuah batasan yang jelas tentang apa masalah
yang akan diteliti, objek yang harus diteliti, serta cara pandang yang akan
dipakai. Pernah dalam sebuah pertemuan kuliah Popper meminta para mahasiswanya
untuk menuliskan apapun yang mereka lihat. Saat itu mereka mengkonfirmasi
perintah Popper untuk memperjelas perintahnya.
Mengutip D. Katz, ia mengemukakan contoh lain untuk mengilustrasikan
problem ini. Seekor binatang yang sedang lapar (a hungry animal) membagi
dunia menjadi dua jenis; jenis yang bisa dimakan (edible) dan jenis yang
tak bisa dimakan (inedible). Binatang yang sedang terbang melihat jalan
sebagai dua jenis yang berbeda; tempat persembunyian dan tempat jalan keluar. Artinya,
objek akan berubah sesuai dengan kebutuhan binatang ini.[14]
Hal serupa akan berlaku pada para pengkaji yang sedang meneliti
suatu teori. Mereka akan cenderung melihat data sesuai dengan kebutuhan mereka,
konfirmasi kebenaran teori yang sedang dikaji. Karena itu, Popper membuat
sebuah pertanyaan sindiran, “lebih dulu mana, telur atau ayam? Lebih dulu mana
hipotesis ataukah penelitian?”
Di sini ia membedakan dua sikap para pengkaji ilmu pengetahuan;
sikap dogmatis dan sikap kritis. Sikap dogmatis cenderung membawa ilmuwan
sebagai pengkaji untuk melakukan verifikasi; memberikan pembelaan dengan
mencari dan mengumpulkan data-data penguat agar teori yang ia yakini dinyatakan
sebagai benar dan bermakna. Sebaliknya, sikap kritis akan cenderung mendorong
ilmuwan untuk melakukan falsifikasi; menguji sebuah teori dengan mencari
data-data yang dapat menunjukkan kelemahan dan keterbatasan teori tersebut.
Seorang ilmuwan kritis cenderung untuk mengganti sebuah teori dengan teori yang
baru. Perbedaan sikap inilah yang menjadi sumber dari adanya pembedaan science
dan pseudo-science.
Konjektur
dan Falsifikasi
Diperlukan sebuah kondisi untuk membentuk sikap kritis pada diri para
pengkaji ilmu pengetahuan. Untuk itu, Popper mengusulkan terma konjektur (conjectures).
Secara leksikal, kata conjecture semakna dengan kata guess
(menduga);[15] conjectural hypothesis bisa dipahami sebagai
hipotesis yang dilandaskan pada dugaan. Karena itulah ada yang membedakan conjecture
dari hypothesis; di mana yang pertama berada pada tingkatan lebih lemah
dibanding yang kedua. Namun dalam praktiknyaa, ada pula yang menggunakan kata conjecture
sebagai pengganti kata hypothesis.
Conjecture bisa dipahami
sebagai sebuah pernyataan yang belum bisa dpastikan kebenaran atau
kesalahannya.[16] Dengan terma ini, Popper menghendaki agar suatu pernyataan atau
teori dianggap sebagai conjecture, dalam artian pernyataan atau teori
tersebut masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut, sebagaimana sikap kita
pada sebuah dugaan. Pemosisian pernyataan atau teori sebagai conjecture akan
memberikan stimulan bagi dilangsungkannya kegiatan-kegiatan penelitian ilmiah.
Sementara mereka yang meletakkan sebuah pernyataan atau teori pada
posisi kebenaran, atau telah meyakini kebenaran suatu pernyataan sebelum
melakukan penyelidikan, akan cenderung mencari data-data pendukung untuk
melindungi keyakinan mereka tersebut. Inilah sikap dogmatis yang telah kita
bicarakan sebelumnya.
Conjecture memiliki peran
yang sangat penting dalam pemikiran Popper. Conjecture menjelaskan
posisi masing-masing antara peneliti dan teori yang sedang diteliti. Di samping
itu, conjecture memberikan rasa tega (baca: kekuatan) pada peneliti
untuk menemukan data-data yang dapat menyalahkan, atau setidaknya melemahkan,
teori tersebut. Singkat kata, conjecture merupakan prinsip yang
membentuk sikap kritis seorang peneliti.
Sikap kritis inilah yang kemudian digunakan untuk melakukan proses
falsifikasi. Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu,
tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara
memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang
diperoleh melalui eksperimen. Falsifikasi berlandaskan pada suatu postulat yang
berbunyi bahwa proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun
dari aneka pernyatan yang cocok satu sama lain, kendatipun
pernyataan-pernyataan itu didasarkan pada observasi.[17]
Sejenak kita lihat definisi di atas menggambarkan pertentangan
antara verifikasi dan falsifikasi; verifikasi cenderung memberikan pembenaran,
falsifikasi berupaya menyalahkan. Namun sebagaimana telah kita bahas di awal
tulisan ini, Popper secara tegas menyatakan bahwa falsifikasi tidak ditujukan
untuk mengkaji teori makna, sebagaimana verifikasi, melainkan untuk membuat
garis pembeda antara science dan pseudo-science.
Selain perbedaan tujuan, falsifikasi berbeda dengan verifikasi
dalam titik tolaknya. Verifikasi bergerak dari observasi menuju sebuah teori
(induktif), sedangkan falsifikasi berangkat dari sebuah teori menuju observasi
(deduktif). Sebentar lagi kita akan melihat perbedaan dua titik tolak ini.
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa falsifikasi dibangun di atas dua
prinsip; testability dan falsifiabilty; bahwa sebuah asumsi atau
teori ilmiah harus bisa diuji dan memiliki kemungkinan untuk dibuktikan kesalahannya.
Testability sudah cukup dipahami, karena verifikasi pun memiliki prinsip
yang sama. Namun bagaimana dengan prinsip falsifiability?
Tidak seperti verifikasi yang bersifat induktif, falsifikasi
dijalankan dengan menggunakan logika deduktif. Artinya, berangkat dari sebuah
hipotesis umum (dalam istilah Popper: konjektur) menuju observasi yang sifatnya
khusus. Observasi yang dilakukan bertujuan untuk menemukan kesalahan-kesalahan
yang ada dalam hipotesis tersebut. Penyelidikan ini tidak berfungsi untuk
menolak total hipotesis, melainkan untuk menemukan titik lemah (weak spots)
dari sebuah hipotesis yang umum. Karena hipotesisnya disusun deduktif, dan
lebih berupa grand-theory, maka pengujian tersebut berfungsi untuk
menajamkan daerah keberlakuan hipotesis besar tersebut.[18] Semakin sering sebuah teori menjawab bantahan, semakin dekat ia
dengan status kebenaran.
Contoh sederhana akan memudahkan kita memahami metode ini. Kita
akan menggunakan metode verifikasi dan falsifikasi untuk menguji sebuah
hipotesis yang berbunyi, “Semua burung gagak berwarna hitam.” Bila menggunakan
metode verifikasi, peneliti akan mencari data-data yang menyatakan bahwa burung
gagak memang berwarna hitam. Dengan data-data yang dikumpulkan tersebut,
diyakini bahwa hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam” dinyatakan sebagai
benar dan ilmiah. Sementara bila menggunakan metode falsifikasi, peneliti
justru akan mencari data yang akan meruntuhkan hipotesis tersebut, membuktikan
kesalahannya. Dalam proses observasi terhadap 500 ekor burung gagak, bila
terdapat satu ekor saja yang berwarna selain hitam, maka itu dinyatakan cukup
untuk memfalsifikasi hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam.” Dengan kata
lain, setumpuk hasil observasi, yang digunakan oleh verifikasionist, tidak akan
bermakna bila dibandingkan dengan satu data yang berbeda tadi.[19]
Tampak perbedaan antara verifikasi yang menggunakan logika induktif
dan ferifikasi yang menggunakan logika deduktif yang diterapkan dalam sebuah
penelitian. Induksi yang berangkat dari fakta-fakta spesifik tidak memiliki dasar
yang kuat untuk dijadikan sebagai penentu hal-hal yang sifatnya lebih umum,
sebab kemungkinan untuk terjadinya anomali tetap terbuka. Di samping itu,
sebagaimana juga dipertanyakan oleh Max Born, tidak ada kriteria yang memeriksa
validitas dari metode induksi, dan herannya, metode ini diyakini bersama oleh
sebagian besar ilmuwan.
Sebaliknya, falsifikasi dengan logika deduktif bergerak dari yang
umum menuju yang khusus dengan adanya observasi lebih lanjut pada cakupan teori
yang umum tersebut. Kemungkinan adanya anomali juga terbuka, namun kekurangan
ini akan ditutupi oleh proses falsifikasi yang memang sengaja dilakukan untuk
penyempurnaan tersebut.[20]
Contoh terbaik mengenai proses falsifikasi, sebagaimana diakui oleh
Popper, adalah teori relativitas Albert Einstein. Einstein menyatakan bahwa
ruang bukanlah sesuatu yang tak berhingga (mutlak), melainkan senantiasa
berhubungan dengan kerangka acuan
pengamatnya. Ruang memiliki bentuk dan tidak dapat dipilah-pilah. Teori ini
merupakan falsifying hypothesis yang berusaha menyanggah teori kosmologi
Isaac Newton (basic statement) yang meyakini bahwa ruang dan waktu
bersifat mutlak. Ruang dan waktu tidak terpengaruh oleh apapun di luar dirinya.[21] Dengan pengertian ini, gerakan benda atau apapun yang berada di
dalam ruang dan waktu tidak akan berpengaruh pada ruang dan waktu itu sendiri.
Alam berada dalam keteraturan.
Bila Einstein memiliki hipotesis yang berbeda dengan teori Newton,
maka seharusnya hipotesis Einstein menunjukkan data yang menyalahkan teori yang
telah bertahan selama beberapa abad tersebut. Arthur Eddington, seorang ilmuwan
Inggris mengadakan penelitian untuk membuktikan teori siapakah yang benar.
Hasil penelitian itu mengkonfirmasi kebenaran teori Einstein yang berarti telah
memfalsifikasi teori Newton. Fakta ini berpengaruh besar dalam dunia fisika,
dan, seperti yang dinyatakan sebelumnya, juga mendorong Popper melakukan kajian
ilmiah.
Dalam menanggapi kritik Hume tentang kelemahan metode induksi,
Popper menyatakan persetujuannya dengan Hume saat mengatakan bahwa metode
induksi bukanlah prosedur ilmiah yang valid dan berpegang padanya adalah
tindakan irrasional. Namun, Popper memberikan perincian; bila yang dimaksud
dengan ‘berpegang’ adalah menerima apa adanya tanpa aktivitas falsifikasi, maka
ia bersepakat dengan dengan Hume. Sebaliknya, ia tidak bersepakat dengan Hume
jika yang dimaksud dengan kata ‘berpegang’ tersebut hanyalah bentuk penerimaan
tentatif untuk kemudian diadakan kajian lebih lanjut.
Kelemahan verifikasi dan metode induksi, dalam pandangan Popper,
adalah tidak adanya prosedur ilmiah yang mantap, yakni conjecture dan falsification.
Conjecture akan menumbuhkan sikap kritis dalam mengkaji suatu masalah,
dan falsification akan terus menjaga pintu kajian ilmiah tetap terbuka.
Inilah bentuk kegagalan induksi dalam membangun sebuah demarkasi.[22]
D.
Relevansi Teori Popper dalam Kajian Keislaman
Untuk membuat kajian ini lebih
hidup, perlulah kiranya kita mempertemukannya dengan realitas kita sehari-hari,
dalam hal ini dunia keislaman. Namun perlu disadari sebelumnya bahwa terdapat
problem teologis di sini, bukan karena Popper adalah non-Muslim, melainkan
karena kajian Popper murni untuk science.
Oleh karena itu, perlulah kiranya
kita menegaskan batasan makna kajian keislaman di sini. Bila yang dimaksudkan
adalah Tuhan, maka jelaslah kita tidak dapat mengkajinya menggunakan metode
falsifikasi Popper karena alasan yang sudah kita bahas pada awal kajian. Bila
yang dimaksudkan adalah al-Qur’an, di sini penulis melihat adanya tantangan.
Kita ketahui bahwa ada dua kecenderungan dalam kajian al-Qur’an yang menurut
Komaruddin Hidayat berasal dari daya al-Qur’am itu sendiri; daya sentrifugal
dan sentripetal al-Qur’an. Gerak sentrifugal adalah
daya dorong al-Qur’an yang sangat kuat bagi umat Islam (para pengkajinya) untuk
melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sementara gerak
sentripetal adalah daya tarik al-Qur’an bagi para pengkajinya untuk selalu
kembali merujuk kepada ayat-ayatnya.[23]
Meskipun tidak tersurat
secara gamblang, dua daya tersebut mengilustrasikan posisi sentral al-Qur’an
dalam kajian al-Qur’an. Beberapa sarjana Muslim telah mencoba mendekati
al-Qur’an menggunakan teori-teori ilmiah (tafsir bil ‘ilmy). Hal ini
menunjukkan bahwa al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang berhubungan dengan
alam semesta. Lebih jauh, bisa dikatakan bahwa ruang pertarungan antara
verifikasi dan falsifikasi terbuka luas di sini. Mungkinkah keduanya bisa
dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam tafsir bil ilmy?
Tampaknya lagi-lagi akan
ada problem teologis yang harus dihadapi para pengkaji. Namun bila yang
dimaksud dengan kajian keislaman adalah pemikiran para sarjana Muslim tentang
teks al-Qur’an atau al-Hadits yang berhubungan dengan sains, aplikasi metode
falsifikasi Popper ini sangat mungkin dilakukan.
Dengan tanpa melihat
objek materiil kajian keislaman yang akan dilakukan, kita bisa melihat semangat
keilmuan yang dikandung oleh pemikiran Popper ini, bahwa sebuah teori bukanlah
kebenaran. Teori masih membutuhkan pengkajian lebih jauh unytuk menemukan
kelemahan-kelemahan di dalamnya untuk kemudian dibangun sebuah penyempurnaan. Sikap
dogmatis pada sebuah teori tertentu akan membawa ilmuwan pada kematian ilmu
pengetahuan. Sekali lagi, Popper mengatakan bahwa predikat terbaik yang bisa
dicapai oleh sebuah teori adalah mendekati kebenaran, bukan kebenaran itu
sendiri. Conjecture dan falsification adalah tawaran Popper pada
ilmu pengetahuan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kematian dini.
E.
Catatan
Penutup
Bila kita kaji lebih mendalam, benar kiranya bila dinyatakan bahwa
verifikasi dan falsifikasi bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Baik
verifikasi ataupun falsifikasi adalah metode yang digunakan untuk menguji
sebuah hasil observasi. Dengan prinsip conjecture, verifikasi bisa
diterima sejauh ia disikapi sebagai sebuah bahan bagi kajian selanjutnya. Atau
dapat dikatakan bahwa verifikasi adalah tahapan menuju falsifikasi.
Popper menyatakan bahwa dirinya
masih menunggu sebuah kritik yang sistematis dan jelas berkenaan dengan solusi
yang ia tawarkan untuk pemecahan masalah demarkasi dan induksi sejak tahun
1933.[24] Dengan demikian, falsifikasi Popper juga membutuhkan upaya
penajaman melalui proses falsifikasi atau metode lain yang lebih baik.
Daftar
Bacaan
1.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia:
2002)
2.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman,
(Jakarta: Gramedia, 2002)
3.
Crowther, Jonathan
(ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New
York: Oxford University Press, 1995)
4.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju Mizan,
2003)
5.
Kattsoff, Louis O., Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
6.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu kualitatif & Kuantitatif untuk
Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2006)
7.
Popper, K. R., Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge and
Kegan Paul, 1969)
8.
____________, The Logic of
Saintific Discovery, (London: Hutchinson, 1968)
[1] Para penerus
positivisme ini disebut sebagai neo-positivisme atau positivism logis, yakni
aliran yang membatasi pikiran pada
segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan empiris. Lihat Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia: 2002), hlm.862-863.
[2] Verifikasi
adalah suatu proses uji empiris terhadap suatu pernyataan; bila ada data-data
empiris yang membenarkan pernyataan tersebut, maka ia layak disebut sebagai
benar. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 1158. Lebih lanjut
tentang verifikasi akan dibahas belakangan, sebagai konsep yang diperbandingkan
dengan konsep falsifikasi.
[3] K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 72.
[4] K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. hlm. 74-76.
[5] Karl Popper, Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge and
Kegan Paul, 1969). hlm. 34.
[6]
Karl Popper, Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 35.
[7] Kata pseudo
diterjemahkan dengan kata not genuine (palsu), pretended
(berpura-pura/gadungan), dan insincere (bermuka dua/tidak jujur). Lihat
Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford
University Press, New York, 1995. hlm. 935. Frase pseudo-science karena
kebenarannya tidak teruji melalui prosedur ilmiah dan selalu dilindungi oleh
argumentasi yang cenderung ideologis dan mitis. Disebut (pseudo-)science
karena dibuat melalui sebuah penelitian tertentu.
[8]
Karl Popper, Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 38-41.
[9] Kesamaan
epistemologis ini meniscayakan bahwa dalam pemikiran Popper pengalaman empiris
merupakan sumber pengetahuan yang digali menggunakan alat yang bernama panca
indera.
[10] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, hlm. 115
[11]
www.Wordpress.com
[12]
Karl Popper, Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 36.
[13]
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, hlm. 343.
[14]
Karl Popper,
Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, hlm.
46-47.
[15] Jonathan
Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. hlm.
242.
[16]
www.Wikipedia.com
[17] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, hlm. 227.
[18] Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu kualitatif &
Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Penerbit
Rake Sarasin, 2006). hlm. 178.
[19] Karl Popper, The
Logic of Saintific Discovery, (London: Hutchinson, 1968) hlm. 27. Suatu hipotesis dapat dikatakan telah
terfalsifikasi bukan hanya karena hipotesis itu memenuhi prinsip testability
dan falsfiability, namun juga karena ada data (falsifying hypotesis) yang
membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Karl Popper, The Logic of Saintific
Discovery, hlm. 86-87.
[20] Dipahami dari
sini bahwa proses falsifikasi, yang memang bertendensi menemukan kesalahan dari
sebuah teori, tidak selalu mendapatkan hasil yang positif, dalam arti teori
yang sedang diteliti memang mengandung kesalahan dan kelemahan. Hasil negative
juga sangat mungkin utuk menjadi hasil kajian falsifikatif ini. Karena itu Popper
juga mengenalkan istilah refutability dan corroboration. Terma
yang pertama mengacu pada hasil penelitian yang positif, dalam arti sebuah
teori terbukti salah. Sedangkan yang
disebutkan terakhir merujuk pada kondisi di mana sebuah teori justru mendapatkan
pengukuhan karena telah dinyatakan lulus dalam uji falsifikasi. Lihat K.
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, hlm 79.
[21] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm.
232-244.
[23] Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung:
Teraju Mizan, 2003), hlm. 17-18.
[24] Karl Popper, Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge, Hlm. 55.
0 komentar:
Posting Komentar